Menikmati Keindahan Gua Cindua Mato Kabupaten Dharmasraya

Tempat Peristirahatan Raja-raja yang Terlupakan
Gua Cindua Mato3Dharmasraya menyimpan banyak cerita dan pesona. Peninggalan arkeolog kerajaan Hindu-Budha dan Islam yang tersebar di Nagari Siguntur, Padanglaweh dan Pulaupanjang, menjadi saksi bisu betapa tangguhnya ibu kota Kerajaan Melayu pada abad 11 Masehi. Di antara warisan yang terlupakan itu, misteri Gua Cindua Mato. Bagaimana ceritanya?  
TEPAT pukul tujuh pagi, matahari mulai terik. Hawa panas membuat perjalanan menuju gua semakin memicu adrenalin. Gua Cindua Mato yang berlokasi di Nagari Tabek, Kecamatan Timpeh, harus ditempuh sekitar 45 km dari Pulaupunjung.
Gua Cindua Mato berada di sebuah bukit semak belukar. Meski menyimpan peninggalan sejarah, gua ini nyaris terbaikan. Mulut gua cukup besar dan tinggi. Diperkirakan setinggi 20-30 meter.
Berjalan sekitar 100 meter ke arah utara, sampailah dimulut gua yang ukurannya lebih kecil. Berjalan beberapa langkah, mulut gua semakin rendah. Hanya setinggi 1 meter.
Siapa pun harus jongkok dan merangkak agar bisa masuk ke dalam gua. Kilauan stalaktit mulai terlihat oleh cahaya lampu dan senter yang menerangi jalan di mulut gua. Air hujan yang meresap ke dalam gua membuat kilauan stalaktit terlihat hidup.
Setelah merangkak sekitar 100 meter, ditemukan lorong yang cukup besar tanpa harus merangkak. Rasa lelah terbayarkan dengan pemandangan stalaktit di sekeliling gua. Ditambah stalakmit yang juga memaksa mata untuk memandang lewat kilauan cahaya hasil dari air yang menetas dari langit-langit gua.
Gua Cindua Mato5Menurut masyarakat setempat, gua ini adalah tempat persinggahan Cindua Mato saat menjemput Puti Bungsu. Ratusan bahkan ribuan tahun silam, ada seorang datuk yang disebut penemu Gua Cindua Mato ini. Datuk tersebut bernama Datuk Sari’an yang kemudian merintis daerah-daerah di sekitar gua yang dikenal dengan sebutan Limo Koto di Hilia, yaitu Tabek, Timpeh, Labuang, Jao, dan Limo Taratak Tinggi.
Datuk Sari’an ini kemudian menjadikan gua tersebut sebagai tempat menetap sementara dengan melakukan berbagai aktivitas. Salah satunya membakar kayu atau memasak sehingga kepulan asap di mulut gua.
Melihat hal tersebut, ketika Cindua Mato yang menjalankan perintah dari Rajo Pagaruyuang melewati daerah Timpeh ini, akhirnya mencoba menghampiri gua tersebut. Cindua Mato melihat adanya asap pertanda ada kehidupan yang dilakukan seseorang di dalam gua.
Di sinilah, Datuk Sari’an bertemu Cindua Mato. Dan sejak saat itu, Cindua Mato sering singgah dan menghampiri Datuk Sari’an. Setiap melakukan perjalanan dan melewati gua tersebut, Cindua Mato pun selalu singgah dan menetap sementara di sana.
Hingga akhirnya, Cindua Mato memerintahkan salah seorang prajuritnya Si Harimau Kumbang Jati menjaga gua tersebut setelah Datuk Sari’an kembali ke Limo Koto di Hilia.
“Berangkat dari cerita itu, gua tersebut diberi nama Gua Cindua Mato. Hingga kini namanya tetap dan tidak berubah,” kata Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Timpeh, Hasan Basri Datuak Rajo Mudo kepada Padang Ekspres di rumahnya, Minggu (29/11).
Di dalam gua, ada sebuah stalagmit yang berbentuk tempat mandi dan peristirahatan sementara raja-raja Hindu-Budha dan Islam pada abad 11 Masehi. Lokasinya bertingkat-tingkat seperti sengkedan sawah.
“Lebih ke dalam lagi, ada stalagmit berbentuk tempat peristirahatan, tombak dan talempong batu,” kata Hasan Basri. Sayangnya, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan karena hari mulai senja. Menurut masyarakat setempat, di dalam gua juga ada batu berupa ayam. Namun, batu seperti ayam ini telah hilang.
Terlupakan
Gua Cindua Mato menarik sebagai tujuan wisata minat khusus yang menyukai tantangan dan wisata sejarah. Hasan Basri Datuak Rajo Mudo tidak menampik Pemkab Dharmasraya belum serius memperhatikan situs-situs bersejarah tersebut.
“Jangankan melestarikan peninggalan sejarah, akses jalan menuju lokasi Gua Cindua Mato saja belum terealisasi,” kata Hasan Basri.
Ia berharap di masa pemerintahan bupati dan wakil bupati terpilih nanti, serius memperhatikan situs-situs bersejarah tentang kebesaran Kerajaan Melayu di Dharmasraya.
“Kebesaran masa lalu Dharmasraya ini perlu dibangkitkan lagi  agar ada kebanggaan generasi sekarang pada daerah. Dengan adanya kawasan wisata di daerah pinggiran ini, tentunya ekonomi masyarakat dapat terangkat,” kata Hasan Basri.
Arjuna Nusantara, pemuda penggerak pariwisata Kabupaten Dharmasraya yang ditemui di rumahnya di Jorong Sungai Duo, Nagari Sungai Duo, Kecamatan Sitiung, mengaku tengah berupaya mengembangkan potensi wisata sejarah di Dharmasraya.
“Ada beberapa daerah pinggiran yang potensial dijadikan wisata minat khusus bagi pecinta tempat wisata yang behubungan dengan alam. Selain Gua Cindua Mato ini, juga ada Air Terjun Lubuak Labu dan tempat lainnya yang kalau digali, dapat menjadi ikon wisata Dharmasraya selain wisata candi yang  telah ada saat ini,” kata Arjuna yang saat ini menimba ilmu di IAIN Imam Bonjol Padang.
“Selain perhatian pemerintah, saya juga berharap kepada masyarakat setempat membentuk kelompok sadar wisata,” ujar Arjuna. (ade Suhendra/padek)

Tinggalkan komentar